Jumat, 28 Oktober 2011

Kretek Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya

 

Judul: Kretej Jawa, Gaya Hidup Lintas Budaya
Penulis: Rudy Badil
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Halaman: xxvii + 171 halaman
Terbit: Agustus 2011
Harga: Rp. 175.000 (soft cover)

Kretek bukan sekadar komoditi. Dalam perjalanan sejarahnya ia juga membentuk sebuah kultur. Tidak hanya memasyarakatnya kebiasaan mengisap kretek, namun juga dampak industrialisasi kretek itu sendiri.

Kebiasaan mengisap rokok sebenarnya sudah lama dikenal oleh masyarakat, khususnya Jawa. Sejumlah sumber susastra lama menyiratkan hal itu, meskipun tidak ada kejelasan apakah apa yang mereka isap saat itu merupakan rokok tembakau seperti yang kita kenal sekarang.

Menurut hasil rieset Zoetmulder yang dikutip dalam buku ini, dalam kitab-kitab lama ada kata dasar udud yang diartikan sebagai rokok. Jika benar kata udud memiliki arti rokok seperti yang dikenal dalam bahasa Jawa saat ini, maka itu berarti kebiasaan merokok sudah dikenal lama dalam masyarakat Jawa.

Lalu dari mana asal-usul kata kretek? Kretek diperkirakan muncul berdasarkan onomatope atau sebutan yang dimunculkan berdasarkan bunyi. Hal ini disebabkan rokok tembakau yang ditambah cengkeh akan menimbulkan bunyi kretek-kretek.

Ada beberapa hal menarik yang disampaikan dalam buku ini. Salah satunya adalah mengenai buruh pabrik kretek. Sebuah pabrik kretek besar di Kudus, Jawa Tengah, misalnya, menjadi gantungan hidup bagi 75.000 buruh, baik dari Kudus ataupun kota-kota di sekitarnya.

Para buruh ini terutama bekerja untuk memproduksi kretek lintingan. Kretek lintingan tidak diproduksi dengan mesin, melainkan mengandalkan kelincahan, kecepatan dan keterampilan jemari para buruh.

Dari data yang ada, kehadiran para buruh kretek ini berhasil menggerakkan roda ekonomi lainnya. Sebut saja pemilik mobil angkutan umum, perahu penyeberangan, hingga para pedagang, rentenir, penitipan sepeda, yang hadir saat pasar dadakan muncul di sekitar brak (barak) penampungan para buruh.

Dapat diduga, akan ada banyak sendi ekonomi rakyat yang lumpuh jika industri rokok mengalami kebangkrutan. Apalagi kini kampanye anti rokok kian gencar. Tampaknya otoritas terkait harus memberikan solusi jika memang industri rokok harus dibatasi.

Hal menarik lain yang diungkap dalam buku ini adalah mengenai label produk kretek yang beredar di pasaran. Dalam buku ini terungkap, pemberian label tidak sekadar perkara visual, namun juga bentuk simbolik dari ruang lingkup kebudayaan di jamannya, yang disebut juga sebagai “simbol ekspresif”.

Lalu bagaimana dengan merek? Merek pun memiliki cerita lain. Buku ini mengungkapkan merek atau brand kretek selalu berkaitan dengan filosofi, keyakinan, dan inspirasi. Merek seakan memiliki kebermaknaan, baik bagi produsen kretek maupun konsumennya.

Memilih merek pun sering dilakukan dengan berbagai cara, misalnya mengaitkannya dengan harapan-harapan, falsafah yang diyakini akan membawa dampak positif. Etnis Tionghoa misalnya mengombinasikan benda ataupun angka agar produknya lebih mudah diterima masyarakat.

Buku ini secara umum berisi sejarah industri kretek, terutama sebelum masa kemerdekaan. Dari paparan sejarah tersebut pembaca dapat melihat pasang surut indutri kretek di Jawa. Dari sini dapat dinilai pengelolaan komoditi secara benar dapat memberikan banyak manfaat bagi pendapatan negara.***
Sumber: http://ulas-buku.blogspot.com/

Bookmark and Share

0 komentar:

Posting Komentar

 
Keaneka Ragaman dan Serba Serbi | Template Ireng Manis © 2010 Free Blogger Template Ajah for DheTemplate.com - New Free Blogger Template Everyday